PERISTIWA EMAS

 

Hari itu, adalah hari Minggu, tidak mengingat tanggal berapa dan bulan berapa bahkan juga tahunnya. Hanya ingat saya masih sekolah di Surabaya anmtara 1961-1964 tentunya. Sebagaimana sering kami lakukan, walau sehari-hari bersekolah di Surabaya [STM Negeri, Jalan Patuha 26, dan tinggal juga di Surabaya [kost di kediaman Bapak Hasan, Jalan Kranggan 158], di hari itu juga masih pergi ke Surabaya, bersama Bestari dan Asad serta Husni Thamrin, rupanya bukan nonton bioskop, yang sesudahnya biasanya makan rujak cingur di Genteng, atau Soto Sulung yang ada di rumah makan es Shanghai di samping bioskop Indra.

Yang kuingat kala itu, sarana transportasi antar kota – baik yang dekat apalagi yang jauh – masihsangat terbatas. Dan ayahnya Bestari – H. Fr. Alwi Isa – akan bepergian ke Jakarta dengan menggunakan kereta BIMA [Biru Malam] yang untuk mendapatkan karcisnya juga agak sulit, dan seperti yang berlaku saat itu, akan lebih mudah diperoleh dengan menggunakan fasilitas pejabat, apalagi pejabat militer. Rupanya, karena itu kami pergi ke rumah dinas [mungkin] Dan Rem yang ada di sebelah Kantor Polisi Lalu Lintas, Ngemplak, karena rupanya kedua beliau saling berteman semenjak masa mudanya. Dan setelah memperoleh surat pengantar dari beliau, kami menuju ke Stasiun Semut untuk mengambil karcis buat perjalanan malam nanti. Jadi mungkin ya itu tujuan ke Surabaya tersebut.

Saat itu parkir mobil di Setasiun Semut masih bisa dilakukan di tepi jalan, bahkan tidak harus parkir paralel pula, karena memang tidak banyak kendaraan yang memerlukannya sperti sekarang ini. Ketika kembali ke mobil, kami mendapati lapisan tipis bu di bagian atap mobil VW Kodok yang relatif rendah. Dan saya berteriak “Udan awu, udan awu” karena begitu terkesima, belum pernah mengalami seumur umur [yang baru 17 tahunan], maklum arek pesisir jauh dari gunung api. Sampai-sampai, saya mengambil kertas dan mengumpulkan abu yang masih tipis menutupi atas mobil untuk saya bungkus buat kenangan.

Rupanya teriakanku tadi, menarik perhatian seorang petugas kepolisian yang kemudian mendatangi kami, dan menegur agar tidak membuat kehebohan bagi masyarakat. Tetapi setelah kami tunjukkan demu yang ada, dan kemudian dia memperhatikan sekeliling, malah berterima kasih. Rupanya sinar matahari yang tidak seberap aterng siang itu, buan karena awan mendung pembawa hujan, tetapi tertutup oleh abu yang tipis.

Kami tidak tahu abu dari gunung mana, karena pemberitaan di kala itu tidaklah seperti sekarang. Dan hari-hari sebelumnya juga tidak ada berita bahwa ada gunung yang akan meletus atau sedang aktif, sebagaimana pemberitaan pada saat ini. Jangan samakan keadaan sekarang, dengan keadaan 50 tahun silam.

Perjalanan kembali ke Gresik yang berjarak 18 km hanya memerlukan waktu berap alikur menit saja, masih lebih cepat dari lewat jalan tol saat ini. Dan rupanya abu juga turun sampai ke Gresik walau sama-sama masih belum terlalu lebat. Dan di Gedung Nasional, sat itu sedang ada acara perayaan pernikahan.

Ibu-ibu yang menghadiri acara pernikahan Ir. Moch. Soeyoethi dengan Chudaifah Basuni [Cak Mamak dan mBak If] baru saja usai, atau ibu-ibu pulang lebih cepat setelah mengetahui kalau ada hujan abu. Di Gresik, undangan pernikahan pada masa itu, terpisah antara lelaki dan perempuan, dan diselenggarakan oleh masing-masing keluarga pengantin pria dan wanita. Sehingga kalau kedua pengantin berasal dari Gresik, dan sama-sama kita mengenalnya, maka bisa menghadiri empat acara untuk sepasang pengantin. Apalagi bila ada resepsi pernikahan, yang dihadiri oleh pria dan wanita secara bersama-sama. Jadi 5 undangan.

Mungkin pernikahannya sudah dilangsungkan beberapa hari sebelumnya, biasanya pada hari Jumat sepulang shalat Jumat atau malam hari sehabis maghrib. Tetapi ternyata, menurut yang disampaikan oleh Cak Mamak [dalam suatu pembicaraan di mobil pada akhir tahun 2011] bahwa pernikahannya sendiri sudah dilakukan setahun sebelumnya, pada tanggal kalender Gregorian yang sama.

Ternyata hujan abu terus berlangsung, dan semakin sore semakin tebal debu yang mengendap di jalanan dan di atap-atap rumah. Apa yang saya kumpulkan sedikit tadi, sudahlah tidak berarti lagi, karena jumlah yang sangat besar bisa diperoleh dengan mudah di jalanan atau halaman. Dan ternyata dari berita radio – tentunya Radio Republik Indonesia studio Surabaya, bahwa gunung yang meletus adalah Gunung Agung di pulau Bali.

Dari internet kemudian saya ketahui, bahwa kejadian itu adalah pada hari Minggu 17 Maret 1963, 21 Syawaal 1382 H, yang berarti tahun ini sudah lima puluh tahun beralu. Peringatan Emas, bila itu suatu peristiwa pernikahan anak manusia.

Keesokan harinya, ketika matahari belum terbit, sudah harus melangkahkan kaki  diatas timbunan debu yang mencapai satu atau dua sentimeter, menuju stasiu kereta api yang tidak seberap ajauh dari rumah, untuk kembali ke Surabaya guna bersekolah seperti biasa. Di dalam gerbong kereta, tidaklah seberapa terpengaruh oleh keadaan di luar, tetapi sesampainya di Stasiun Pasar Turi, dan melangkahkan kaki lewat Jalan Semarang menuju ke Kranggan, mulailah terasa pengaruh debu yang beterbangan.

Masker penutup hidung belumlah dikenal oleh masyarakat pada waktu itu, beda dengan sekarang, ada sedikit saja ancaman pernafasan sudah ribut dengan pembagian masker. Kalau tidak ada, pemerintah dimaki-maki.

Keadaan jalanan yang lalu lintasnya ramai, kebanyakan debu sudah berterbangan karena kendaraan yang melaju di jalan, dan menumpuk di sisi-sisi jalan, genting dan halaman rumah. Dan ternyata, sesampainya di sekolah, setelah menunggu seberapa waktu diumumkan bahwa sekolah diliburkan. Jadilah kembali pulang lagi ke Gresik. Sama-sama berdebunya, lebih baik di rumah sendiri.

Begitulah kissah 50 tahun silam, dan itu merupakan pengalaman pertama dan yang paling besar terkena hujan abu. Dari Gunung Agung yang letakya jauh dan melintasi lautan [selat] pula. Walau mengalami muntahan abu Gunung Galunggung, ketika tinggal di Bandung/Jakarta, tetapi tidaklah sedahsyat yang lima puluh tahun silam. Antara lain karena Gunung Galunggung mengikuti pola kerja sebagian masyarakatnya, sebagai tukang kredit.

Saifuddien Sjaaf Maskoen

17 Maret 2013

Tag: , ,

Tinggalkan komentar