CERITA PAGI – 04

Hari Kamis pagi 23 November 2006, dalam perjalanan ke Wijaya saya menerima SMS dari anakku bahwa ada ledakan pipa gas Pertamina  – yang mengalirkan gas alam dari Pulau Pagerungan, Sumenep ke Gresik – di lokasi bencana alam lumpur panas, dimana seorang karyawan ADHI KARYA menjadi korban dan dua orang lainnya belum diketemukan. Tentu saja hal ini menyentak rasa dan nuraniku. Segera ku sms beberapa pemimpin perusahaan dimana aku dulu bekerja, menyampaikan rasa duka serta mencari informasi lebih lanjut tentang kecelakaan kerja tersebut.

Dari Gus Ali – demikian aku biasa memanggilnya – yang kepala cabang Surabaya, aku memperoleh jawaban singkat, “terima kasih atas perhatiannya, Allahummaghfirlahu”. Segera kujawab singkat pula, untuk menggali informasi lebih dalam “hu apa hum”. Dan kemudian ditegaskan oleh Gus Ali bahwa “aku pelit ya, hanya untuk Pak Edi Tarno”. Tentu saja hal itu menyentakku, karena almarhum saudara Edi Tarno alias Hunter [julukan oleh rekan-rekannya entah karena apa, mungkin karena mobil Holden tahun 1964 yang mirip mobilnya Hunter – tokoh dalam serial televisi kala itu], secara pribadi aku mengenalnya dengan baik. Kulanjutkan dengan pembicaraan langsung dengan Gus Ali untuk memperoleh informasi lebih lanjut, sambil bersama-sama mendoakannya.

Tak terasa air mata meleleh ketika aku membacakan format panjang dari doa tersebut, sebagaimana yang dibaca diantara dua takbir dalam shalat jenazah atau shalat ghaib. Almarhum adalah seorang yang dengan penuh dedikasi menjalankan tugasnya sebagai seorang karyawan, tanpa takut akan bahaya yang mungkin mengancam keselamatan pribadinya. Dan itu sudah berkali-kali almarhum lakukan, sebagaimana dilakukan juga oleh banyak karyawan dalam perusahaan tersebut. Batasan waktu jam kerja sebagaimana diatur dalam Peraturan Perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama [KKB] tidaklah menghalanginya untuk mengejawantahkan dedikasinya tersebut. Apa yang almarhum lakukan pada malam itu, kuyakini sudah dilakukannya bermalam-malam, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, tanpa suatu keluhan atau tuntutan apapun.

Keesokan harinya, Jumat, aku seharian penuh di ADHI KARYA dengan pak Saiful. Pagi hari membahas berbagai hal tentang SBI kita, disertai Bu Wuri dan Bu Ade. Siang harinya shalat Jumat di Masjid Daarul Mustaqimien yang berada di Kantor Pusat tersebut, dilanjutkan dengan shalat ghaib untuk saudaraku almarhum Edi Tarno. Dan setelah acara pelepasan jamaah calon haji karyawan ADHI KARYA, yang tahun ini menembus batas psikologis 100 orang, dalam perjalanan menyertai Pak Saiful untuk bertemu dengan pemimpin Bank Muamalat guna mencari solusi atas keadaan keuangan Madania, saya menerima SMS dari Pak Fuadi, yang menyampaikan seorang karyawan yang hilang sudah ditemukan dalam keadaan meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. ‘Hu’ itu telah beribah menjadi ‘humma’, dan kemungkinan besar akan menjadi ‘hum’. Allahummaghfirlahum warhamhum wa wassi’ madkhaalahum wa adkhilhum jannata ma’al abraar. Amien ya rabb al alamien.

Pulangnya aku diantar dengan menggunakan mobil milik mantan Sekjen Departemen Pekerjaan Umum [pak Ruslan Diwirjo yang sekarang juga mengurusi proyek Jakarta Monorail], yang dikemudikan oleh seorang pria Jawa yang sudah berusia senja. Dalam menelusuri jalan di kala senja yang sudah mulai ditinggalkan sang surya, ditengah kemacetan lalu-lintas yang memuncak di kala Jumat petang, aku bertanya kepada sang pengemudi dengan serangkaian pertanyaan klasik – yang juga selalu kutanyakan ketika naik taksi, dari mana dan sudah berapa berada di Jakarta. Ternyata beliau dari Gunungkidul, dan sudah 32 [tiga puluh dua] tahun merantau ke Jakarta. Dan yang lebih mengejutkan, selama itu pula dia bekerja pada pak Ruslan. “Semenjak masih SMP, dan meneruskan SMA di Jakarta”.

Aku menemukan lagi suatu bentuk kesetiaan, atau dedikasi yang diejawantahkan dalam suatu kurun waktu panjang tanpa terputus. Tentu ada suatu motif yang menggerakkan kesemua itu. Walau berbeda bentuk, tetapi keduanya [antara almarhum saudara Edi Tarno dan bapak pengemudi yang sekali ini aku lupa tanyakan namanya – karena kalau pengemudi taksi langsung sudah kubaca dari kartu yang terpampang di dash-board], dan juga masih banyak lagi orang yang masih menunjukkan kesetiaan atau dedikasi, atau apapun kita menyebutnya di tengah hiruk pikuk berbagai pertimbangan materi dan finansial yang kadangkala membuat orang menjadi bersikap lain.

Kiranya keikhlasan dan ketulusan atau ketulus-ikhlasan seseorang itulah yang akan mewujudkan dedikasi, kesetiaan, pengabdian yang seperti itu. Tetapi saya melihat dua akar yang bisa jadi berbeda antara keduanya.

Yang satu, mungkin terbentuk dari akar budaya ngenger, yang dahulu banyak kita temukan dalam kehidupan masyarakat Jawa yang [maaf, masih dianggap] tradisionil. Yaitu, menyerahkan diri pada seseorang [biasanya juga masih ada kaitan keluarga, atau tetangga atau bahkan tak ada hubungan apapun] yang lebih mampu atau lebih bermartabat. Cerita lama mengungkap adanya pembantu yang ikut pada satu keluarga, mulai dari masih gadis remaja hingga tua renta, mulai ngemong anaknya majikan sampai cucunya majikan menikah, adalah sesuatu yang biasa. Tetapi sekarang? Jangankan cucu majikan menikah, anak majikan bisa jalanpun agak jarang.

Yang kedua, mungkin dibentuk oleh lingkungan kerja atau budaya kerja di lingkungan itu. Bisa melalui teladan yang diberikan oleh para pemimpin pada berbagai jenjang yang ada, yang berlangsung secara natural [semula jadi, kata orang di negeri jiran], dan bisa juga diperkuat oleh pembentukan budaya yang memang sengaja dilakukan [direkayasa dalam artian positif] oleh para pemimpinnya.

Atau mungkin juga kombinasi antara keduanya dan ditambah faktor-faktor lainnya. Mungkin cerita cak Nun [Emha Ainun Najib] disalah satu tausiyahnya di Radio DELTA, bisa juga medasari hal-hal tersebut.

 

Wallahu a’lam.

Saifuddien Sjaaf Maskoen

25 November 2006

Tag: ,

Tinggalkan komentar